Sorotistananews.com, Jakarta – Publik kembali dikejutkan oleh adanya penetapan tersangka 3 (tiga) orang hakim oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi. Ini bukan kali pertama peristiwa semacam itu terjadi, dan bukan pula yang terakhir jika sistem tidak segera diperbaiki.
Fakta ini memperkuat kesan bahwa sebagian hakim kini lebih takut pada jaksa daripada pada nilai-nilai keadilan dan integritas yang semestinya dijunjung tinggi.
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, posisi hakim adalah sentral dan seharusnya netral. Hakim bukan hanya wasit antara jaksa dan penasihat hukum terdakwa, tapi juga penjaga marwah keadilan. Namun ketika pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh institusi penegak hukum seperti kejaksaan atau kepolisian—yang dalam posisi sebagai pihak dalam perkara—maka independensi kekuasaan kehakiman terancam. Situasi ini membuka ruang bagi ketimpangan dan intervensi.
Tidak ada yang menolak perlunya pengawasan terhadap hakim. Namun, pengawasan tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang netral, tidak berkepentingan, dan tidak memiliki relasi kuasa dengan hakim dalam konteks perkara. Di sinilah urgensi untuk memperkuat lembaga seperti Komisi Yudisial (KY), yang memang dibentuk sebagai pengawas eksternal hakim, tetapi sampai hari ini tidak memiliki taring yang cukup kuat.
Komisi Yudisial kerap menghadapi tembok besar dari Mahkamah Agung, bahkan dalam banyak kasus, rekomendasi KY diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, perlu pembentukan badan baru yang lebih kuat, atau revitalisasi KY dengan mandat konstitusional yang tegas dan tidak bisa diintervensi, semacam Judicial Oversight Council yang berfungsi sebagai penjaga etika dan integritas hakim secara independen.
Lembaga ini sebaiknya diisi oleh tokoh-tokoh lintas latar belakang: akademisi, masyarakat sipil, mantan hakim agung, bahkan tokoh agama dan kebudayaan yang dihormati publik. Tujuannya bukan mengintervensi teknis yudisial, tetapi menjaga marwah peradilan tetap bersih dan bebas dari pengaruh eksternal.
Menyelamatkan Keadilan
Keadilan tidak akan pernah bisa ditegakkan oleh hakim yang takut pada institusi penegak hukum. Ketakutan ini bisa mengubah ruang sidang menjadi panggung formalitas belaka—tempat di mana keputusan sudah ditentukan bukan berdasarkan kebenaran materiil, melainkan oleh tekanan atau rasa takut.
Saatnya kita bersatu mendorong reformasi pengawasan kehakiman yang berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Hakim harus diberi keberanian untuk bersikap objektif, dan ini hanya mungkin jika sistem di sekitarnya menopang integritas, bukan memenjarakannya.
Sudah waktunya kita bersuara lantang: hakim tidak boleh takut. Negara hukum hanya akan tumbuh jika hakim-hakimnya berani merdeka.
Oleh: DR. H. Adi Warman SH., MH., MBA.
Ahli & Praktisi Hukum / Pemerhati Reformasi Peradilan