Sorotistananews.com, Jakarta- Kita terlalu lama memaknai keadilan sebagai sesuatu yang hanya lahir di gedung tinggi bertuliskan “Pengadilan Negeri.” Padahal dalam kenyataannya, keadilan tidak selalu datang dari palu hakim. Di banyak pelosok desa, keadilan justru tumbuh dari bale-bale bambu, musyawarah adat, dan kata sepakat yang dipandu tokoh masyarakat.
Karena itu, gagasan pembentukan Mahkamah Desa hadir bukan sebagai upaya memperbanyak lembaga hukum, melainkan sebagai upaya memulihkan keadilan yang dekat, murah, dan bermartabat. Mahkamah Desa adalah lembaga penyelesaian sengketa di tingkat desa, berbasis musyawarah, nilai-nilai lokal, dan hukum adat. Bukan pengadilan formal, tetapi forum damai yang diakui dalam kerangka hukum nasional.
Landasannya kokoh. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan peran kepala desa dalam menyelesaikan perselisihan warga. Bahkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menempatkan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai asas utama peradilan. Mahkamah Desa adalah wujud konkret dari semua ini.
Mahkamah Desa menangani persoalan yang terlalu kecil untuk dibawa ke pengadilan negeri, tetapi cukup besar untuk merusak hubungan sosial jika dibiarkan: batas pekarangan, warisan keluarga, hutang piutang antarwarga, hingga pelanggaran adat. Putusannya bersifat final, mengikat secara sosial dan administratif di tingkat desa, tanpa ruang banding atau kasasi. Ini adalah penyelesaian sengketa yang adil secara substansi, bukan sekadar prosedur.
Model ini bukan hal baru. Di Sumatera Barat, Nagari masih mengenal Kerapatan Adat. Di Kalimantan, masyarakat Dayak menyelesaikan perkara lewat Temenggung. Namun praktik-praktik semacam itu selama ini hidup dalam kekosongan hukum formal. Maka RUU Mahkamah Desa harus segera masuk dalam proleknas. Sebagai adalah rekognisi negara terhadap hukum yang sudah hidup di tengah rakyat.
Gagasan ini sejalan dengan visi besar Astacita Presiden Prabowo Subianto, khususnya poin ke-1 dan ke-2:
Pertama, memperkokoh ideologi Pancasila dan demokrasi melalui penguatan nilai musyawarah dalam penyelesaian konflik.
Kedua, memantapkan sistem pertahanan dan keamanan negara dengan memperkuat ketahanan sosial berbasis komunitas desa.
Keadilan sejati bukan yang bergema di ruang sidang, tapi yang dirasakan hadir oleh warga. Keadilan bukan soal menang kalah, tapi soal pulihnya hubungan sosial dan rasa aman. Dan sering kali, itu justru lebih mudah ditemukan di beranda rumah tetua adat ketimbang di ruang pengadilan.
Mahkamah Desa bukan sekadar alternatif, melainkan fondasi baru bagi keadilan yang membumi.
Saatnya negara mengakuinya—bukan sebagai nostalgia adat, tetapi sebagai masa depan hukum yang lebih manusiawi.
Oleh: Dr. H. Adi Warman, SH., MH., MBA. Ahli Hukum – Pengamat Politik dan Keamanan.