Pemerintah saat ini sedang serius dan konsisten melakukan penertiban terhadap praktik-praktik premanisme jalanan dan oknum organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kerap meresahkan masyarakat.
Sorotistananews.com, Jakarta- Aksi-aksi yang dinilai mengganggu keamanan dan ketertiban umum, serta berpotensi menghambat iklim investasi, menjadi alasan kuat dilakukannya tindakan tegas. Langkah ini patut diapresiasi, karena negara tidak boleh kalah oleh kekuatan-kekuatan informal yang bertindak sewenang-wenang di luar jalur hukum.
Namun di tengah tepuk tangan publik atas penindakan terhadap premanisme jalanan, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana dengan bentuk premanisme yang dilakukan oleh oknum berseragam—termasuk aparat penegak hukum (APH)—yang seringkali justru lebih menakutkan dan berdampak luas?
Premanisme bukan hanya berbentuk pemalakan di terminal, pungutan liar di proyek, atau intimidasi fisik di jalanan. Premanisme adalah perilaku menyimpang yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan, ancaman terhadap warga sipil, pemerasan, intimidasi, bahkan kriminalisasi, yang dilakukan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Ketika hal ini dilakukan oleh warga sipil atau ormas, negara bisa langsung bergerak. Tetapi ketika dilakukan oleh oknum aparat negara, tindakan itu bisa dibungkus dengan atribut hukum dan justru lebih sulit disentuh. Di sinilah letak bahayanya.
Premanisme berseragam adalah bentuk legalisasi kekerasan dan ketidakadilan, ketika kekuasaan digunakan untuk menekan, bukan melindungi. Ketika seragam, lambang negara, dan kewenangan hukum digunakan untuk kepentingan pribadi, maka terjadilah distorsi dalam sistem hukum. Ini menciptakan ketakutan legal (legal terror) yang menghantui masyarakat tanpa bisa dilawan secara terbuka, karena pelakunya membawa simbol kewibawaan negara.
Dalam banyak kasus, kita menyaksikan adanya pemaksaan, pemerasan, intervensi hukum, bahkan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh oknum aparat, baik secara langsung maupun dengan memanfaatkan jejaringnya di dalam sistem birokrasi hukum. Mereka bisa “memainkan” proses hukum, memutarbalikkan fakta, atau menutup kasus dengan dalih prosedur formalitas. Dalam konteks ini, masyarakat biasa tidak memiliki daya tawar yang cukup untuk melawan, karena pihak yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi penindas.
Konstitusi kita jelas menegaskan prinsip equality before the law dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ini berarti, tidak boleh ada perlakuan istimewa terhadap pelaku pelanggaran hukum hanya karena statusnya sebagai aparat negara. Mereka justru harus tunduk dan patuh pada hukum secara lebih ketat, karena memikul tanggung jawab moral dan etik yang lebih tinggi.
Sayangnya, penindakan terhadap premanisme berseragam belum mendapat perhatian sekuat penindakan terhadap premanisme jalanan. Kita masih menyaksikan adanya pembiaran, ketidaktegasan, atau bahkan perlindungan terhadap oknum yang seharusnya ditindak. Padahal, premanisme yang dilakukan oleh aparat negara merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum secara sistemik. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap aparat, maka mereka akan mencari jalan sendiri—baik dengan membayar perlindungan ilegal, menggunakan kekuatan ormas, atau melakukan tindakan main hakim sendiri. Akibatnya, hukum kehilangan daya wibawanya.
Dalam konteks iklim investasi yang sering dijadikan alasan pemberantasan premanisme sipil, perlu ditegaskan bahwa investor bukan hanya takut kepada pungli ormas, tapi juga pada ketidakpastian hukum, korupsi birokrasi, dan intimidasi hukum oleh oknum aparat. Tidak sedikit pengusaha yang merasa diperas dengan ancaman hukum, ditakut-takuti oleh oknum penyidik, atau dipaksa menyelesaikan perkara dengan “jalan belakang.” Inilah bentuk premanisme struktural yang tidak kalah berbahaya dibandingkan premanisme fisik.
Oleh karena itu, negara harus hadir secara menyeluruh. Jika negara keras terhadap premanisme jalanan, maka harus lebih keras lagi terhadap premanisme berseragam. Kita butuh penguatan sistem pengawasan internal di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan institusi hukum lainnya. Selain itu, pengawasan eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman, dan media massa harus didorong untuk aktif menyuarakan dan menindaklanjuti laporan masyarakat tanpa rasa takut.
Penting juga diperkuatnya mekanisme etik, baik melalui pengadilan etik, kode etik profesi, maupun pembinaan internal berbasis moralitas. Para pejabat tinggi di institusi penegak hukum harus menjadi teladan, bukan justru menjadi bagian dari mata rantai penyimpangan.
Langkah Presiden dan para pemimpin lembaga negara menjadi kunci untuk memutus mata rantai premanisme struktural ini. Penataan ulang institusi hukum dan komitmen untuk tidak melindungi oknum harus menjadi bagian dari reformasi hukum yang serius.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa negara ini tidak boleh kalah oleh premanisme dalam bentuk apa pun. Namun yang lebih berbahaya dari premanisme sipil adalah ketika premanisme itu hadir dengan seragam resmi, membawa simbol negara, dan melukai keadilan dari dalam. Karena yang demikian bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan nilai-nilai konstitusi.
Oleh: Dr. H. Adi Warman, SH., MH., MBA. Ahli Hukum – Pengamat Politik Dan Keamanan.