Ujungbatu, Rokan Hulu — Kredibilitas pengelolaan keuangan di SMAN 1 Ujungbatu menjadi sorotan setelah mencuatnya dugaan laporan fiktif dan praktik mark-up anggaran pada penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Beberapa guru mengaku telah dipanggil oleh Kejaksaan Negeri Rokan Hulu ke kantor Camat Ujungbatu terkait isu dugaan “korupsi berjamaah” yang disebut-sebut dilaporkan oleh pihak manajemen sekolah.
Para guru menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan atau pengelolaan anggaran, melainkan hanya menerima pembayaran setelah kegiatan berlangsung, berdasarkan informasi yang diberikan kepala sekolah atau bendahara.
“Kami hanya menerima honor setelah kegiatan berlangsung. Tidak pernah tahu berapa anggaran yang diajukan, apalagi terlibat menyusun laporan,” ungkap salah satu guru yang turut diperiksa.
Guru-guru merasa nama baik mereka tercemar akibat dilibatkan dalam laporan dugaan penyalahgunaan dana yang menurut mereka disusun tanpa partisipasi mereka. Mereka menduga, laporan keuangan yang menjadi dasar dugaan tersebut telah dimanipulasi oleh oknum di lingkup manajemen sekolah.
“Yang membuat kami kecewa, laporan itu seolah-olah kami ikut bertanggung jawab. Padahal kami tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RKAS,” ujar guru lainnya.
Situasi diperkeruh dengan beredarnya kabar bahwa guru-guru diminta mengganti dana yang telah mereka terima, lantaran dianggap tidak sesuai dengan petunjuk teknis (juknis). Padahal, menurut pengakuan para guru, dana tersebut diterima sesuai arahan, tanpa akses terhadap juknis atau dokumen anggaran.
“Jika dana itu dianggap tidak sesuai juknis, mengapa kami yang harus mengganti? Kami hanya menjalankan tugas sesuai instruksi, bukan pihak yang menyusun kegiatan maupun anggaran,” tegas seorang guru.
Dampak dari proses hukum ini turut dirasakan dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa guru harus meninggalkan kelas untuk memenuhi panggilan pemeriksaan, yang pada akhirnya mengganggu kelancaran proses pembelajaran. Tak hanya itu, suasana sekolah pun menjadi tidak kondusif karena guru merasa tertekan dan khawatir akan munculnya tuduhan-tuduhan baru yang bisa mencemarkan nama baik mereka.
“Kami tetap berupaya menjalankan tugas mengajar, meski dalam tekanan mental. Tuduhan ini sangat membebani kami secara psikologis,” keluh guru lainnya.
Dinas Pendidikan Provinsi Riau hingga kini belum memberikan tanggapan resmi atas kasus ini. Para guru berharap agar proses hukum berjalan secara adil dan transparan serta mampu mengungkap siapa sebenarnya yang bertanggung jawab.
“Sekolah seharusnya menjadi tempat mendidik, bukan ruang untuk saling menjatuhkan demi melindungi diri sendiri. Jika memang ada pelanggaran, ungkap saja siapa pelakunya. Jangan libatkan guru yang tidak mengetahui apa-apa,” tegas seorang guru.
Kasus ini membuka mata publik bahwa celah dalam pengawasan dana pendidikan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bahkan dengan mengorbankan guru yang tidak tahu-menahu. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal moral dan keadilan. Penegak hukum dituntut untuk tidak sekadar menindak, tetapi membongkar kebenaran secara tuntas—agar dunia pendidikan tidak dikotori oleh praktik manipulatif yang mencederai marwah sekolah.