Oleh: Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A. Ahli Hukum – Pengamat Politik dan Keamanan.
Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa keberanian untuk berbeda, dan negara tidak akan kuat tanpa integritas untuk bersikap adil. Di antara keduanya, ruang hukum dan dialog publik menjadi jembatan yang tak boleh runtuh.
Sorotistananews.com, Jakarta- Konflik terbuka antara Universitas Harvard dan pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengundang perhatian publik global. Di satu sisi, ini tampak seperti pertarungan klasik antara kebebasan akademik dan kekuasaan negara.
Namun jika ditelaah lebih dalam, perdebatan ini menyimpan isu yang jauh lebih kompleks:
Bagaimana menyeimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dengan kebutuhan menjaga kedaulatan dan keamanan nasional?
Harvard dan Benteng Kebebasan Akademik
Harvard, sebagai institusi pendidikan tertua dan paling berpengaruh di Amerika Serikat, menolak keras permintaan pemerintah untuk menyerahkan data mahasiswa asing, membatasi kebijakan afirmatif, dan melarang organisasi mahasiswa pro-Palestina. Bagi Harvard, tuntutan itu bukan sekadar administratif, melainkan bentuk intervensi politik yang mengancam prinsip-prinsip dasar kebebasan akademik dan hak sipil.
Langkah berani diambil: menggugat pemerintah ke pengadilan federal dengan dalih pelanggaran terhadap Amandemen Pertama (kebebasan berbicara dan berserikat) dan pelanggaran prinsip due process. Dalam narasi ini, Harvard tampil sebagai simbol perlawanan terhadap represi, sekaligus benteng pertahanan intelektual dalam demokrasi.
Putusan awal pengadilan yang mengabulkan sebagian permohonan Harvard menjadi bukti bahwa lembaga hukum masih menempatkan kebebasan akademik sebagai nilai fundamental dalam sistem demokrasi Amerika.
Pemerintah dan Urgensi Menjaga Kedaulatan
Namun dari sisi lain, pemerintah pun memiliki argumen yang tak kalah penting. Dalam situasi global yang penuh ketegangan—terutama terkait isu Timur Tengah, potensi radikalisasi, dan ancaman pengaruh asing—langkah kontrol terhadap institusi strategis seperti kampus dinilai sebagai bagian dari kewajiban negara untuk menjaga keamanan nasional.
Dana publik yang diterima Harvard tidak kecil: lebih dari 2 miliar dolar AS per tahun. Pemerintah merasa berhak mengawasi penggunaannya, termasuk memastikan bahwa kampus tidak menjadi wadah penyebaran ideologi yang bertentangan dengan kepentingan nasional.
Organisasi mahasiswa yang menyuarakan dukungan terhadap Palestina pun tak luput dari sorotan. Sebagian kalangan pemerintah menilai, dalam beberapa kasus, aktivitas organisasi tersebut telah melewati batas advokasi menjadi agitasi politis yang rentan disusupi agenda asing.
Bagi Trump dan para pendukungnya, kebebasan akademik bukan berarti kekebalan dari tanggung jawab. Negara tetap punya mandat untuk mengatur demi melindungi rakyat dan kedaulatan nasional.
Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Lantas, siapa yang salah dan siapa yang benar? Jawaban paling jujur barangkali bukan memilih satu sisi, melainkan memahami bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan kedua pilar: kebebasan dan kedaulatan. Harvard berhak mempertahankan otonomi intelektualnya, tetapi tidak dapat mengabaikan regulasi negara. Sementara pemerintah berhak menjaga keamanan, namun tidak boleh mengekang kampus secara sewenang-wenang.
Ketegangan ini justru menunjukkan pentingnya adanya mekanisme hukum yang bekerja. Pengadilan menjadi arena yang adil untuk menakar batas, menyaring kepentingan, dan menjaga agar negara tidak melampaui batas kekuasaan, serta agar kampus tidak menyalahgunakan status istimewanya.
Relevansi Bagi Indonesia
Di tengah wacana politik dan pendidikan di Indonesia, kasus ini bisa menjadi pelajaran penting. Kampus harus menjadi ruang kebebasan berpikir yang dilindungi, bukan dikendalikan. Namun kebebasan itu juga harus berjalan seiring dengan tanggung jawab terhadap bangsa. Menolak intervensi politik bukan berarti menutup diri dari pengawasan publik.
Pemerintah pun harus menyadari bahwa mengatur kampus berbeda dengan mengatur birokrasi. Otonomi perguruan tinggi adalah amanat konstitusi dan prasyarat kemajuan bangsa.
Pertarungan antara Harvard dan Presiden Trump bukan sekadar konflik hukum, melainkan ujian terhadap arah demokrasi Amerika. Di balik dinamika itu, kita diingatkan bahwa baik negara maupun kampus memiliki peran strategis: menjaga kemerdekaan berpikir sekaligus kedaulatan negara.
Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa keberanian untuk berbeda, dan negara tidak akan kuat tanpa integritas untuk bersikap adil. Di antara keduanya, ruang hukum dan dialog publik menjadi jembatan yang tak boleh runtuh._**