Diam boleh bijak, tapi dalam situasi seperti ini – diam bisa jadi dosa sejarah.
Sorotistananes.com, Jakarta- Kasus judi online kini menjelma menjadi skandal politik tingkat tinggi yang menggerus kepercayaan publik terhadap elite, hukum, dan negara. Bukan hanya karena jumlah uang yang beredar begitu besar, tapi karena pusaran tuduhan kini menyentuh tokoh-tokoh strategis yang seharusnya menjadi penopang moral dan keamanan negara.
Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwannya terhadap salah satu terdakwa menyebut dengan tegas, bahwa Budi Arie Setiadi yang saat ini menjabat sebagai menteri Koperasi, menerima 50 persen dari “fee pengamanan” situs judi online yang semestinya diblokir oleh Kominfo. Namun, yang mengejutkan publik bukan hanya isi dakwaan itu, melainkan tudingan langsung Budi Arie kepada Menkopolkam Budi Gunawan dan partai besar seperti PDIP sebagai dalang “framing politik” yang menyudutkannya.
Hingga tulisan ini dibuat, Budi Gunawan belum memberikan pernyataan resmi apa pun. Kebisuannya menjadi spektrum baru dalam krisis kepercayaan publik. Sebagian menilai itu sebagai sikap yang memang Budi Gunawan tidak terbiasa bereaksi di publik, tapi sebagian lain membaca diamnya sebagai bentuk pembiaran atas tuduhan yang menyangkut kredibilitas negara.
Tiga Hal yang Menjadi Catatan Serius:
Pertama, judi online bukan sekadar pelanggaran hukum—ia adalah kejahatan sistemik yang menyusupi birokrasi.
Dengan teknologi yang canggih, jaringan internasional, dan modal tak terbatas, judi online bukan hanya merusak ekonomi rumah tangga, tapi juga memperalat pejabat untuk melindunginya. Ketika kementerian, lembaga, dan penegak hukum justru terlibat, maka negara sedang kehilangan integritas.
Kedua, saling tuding di antara elite mencerminkan rapuhnya solidaritas dan krisis etika kepemimpinan.
Alih-alih memperkuat barisan dalam memberantas kejahatan digital lintas negara, yang terjadi justru pertarungan narasi, saling serang, dan upaya mencari kambing hitam. Ketika framing politik dijadikan strategi bertahan, maka ruang publik kehilangan akal sehatnya.
Ketiga, Presiden harus segera hadir sebagai pemimpin moral tertinggi untuk meredam kegaduhan.
Skandal ini tidak bisa dibiarkan jadi bola liar. Perlu dibentuk Tim Investigasi Independen Nasional yang transparan dan bebas dari intervensi kekuasaan, terdiri dari KPK, PPATK, BSSN, dan unsur sipil. Presiden harus menunjukkan bahwa hukum adalah instrumen kebenaran, bukan alat transaksional elite.
Dalam setiap krisis, kejujuran adalah cahaya. Jika elite memilih diam ketika dituduh, maka bukan hanya rasa hormat publik yang hilang, tetapi juga martabat institusi yang mereka wakili.
Diam boleh bijak, tapi dalam situasi seperti ini—diam bisa jadi dosa sejarah.
Oleh: Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A. Ahli Hukum – Pengamat Politik dan Keamanan