“Kami memandang, bila benar pemberian asimilasi kilat kepada terpidana korupsi yang baru setahun menjalani vonis sebagai bentuk potensi penyalahgunaan kewenangan. Apalagi yang bersangkutan memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan tokoh politik dan kepala daerah aktif”
Sorotistananews.com, Jakarta.- Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) menyoroti tajam pemberian program asimilasi kepada Andi Ardiansyah, terpidana kasus korupsi pertambangan di Blok Mandiodo, Konawe Utara, yang juga merupakan keponakan Gubernur Sulawesi Tenggara dan adik Ketua DPD Gerindra Sultra.
Ketua Umum GN-PK, Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A., menyebut langkah tersebut sebagai kemunduran integritas penegakan hukum dan berpotensi menimbulkan persepsi publik bahwa hukum dapat diintervensi oleh kekuasaan.
“Kami memandang, bila benar pemberian asimilasi kilat kepada terpidana korupsi yang baru setahun menjalani vonis sebagai bentuk potensi penyalahgunaan kewenangan. Apalagi yang bersangkutan memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan tokoh politik dan kepala daerah aktif,” tegas Adi Warman dalam pernyataan resminya, Senin(2/6).

Andi Ardiansyah sebelumnya dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp45 miliar oleh Pengadilan Tipikor Kendari pada Mei 2024. Namun pada Mei 2025, ia dilaporkan menerima program asimilasi dari Lapas Kelas IA Kendari, meski publik belum memperoleh kepastian apakah seluruh syarat administratif dan substantif telah terpenuhi.
GN-PK mempertanyakan kecepatan pemberian asimilasi.
GN-PK mempertanyakan kecepatan proses pemberian asimilasi tersebut, termasuk apakah telah dibayarkan uang pengganti dan denda sebagaimana diwajibkan dalam putusan pengadilan, serta apakah telah ada rekomendasi tertulis dari jaksa penuntut umum atau KPK selaku penyidik perkara.
“Berdasarkan PP No. 99 Tahun 2012, terpidana korupsi tidak bisa serta-merta memperoleh hak asimilasi. Harus ada prasyarat yang jelas, tidak cukup hanya berkelakuan baik. Jika semua ini tidak transparan, maka patut diduga telah terjadi intervensi atau setidaknya ketidakpatutan administrasi,” lanjut Adi.
GN-PK meminta kepada Kemenimipas, khususnya Ditjen Pemasyarakatan, agar membuka secara publik seluruh proses evaluasi pemberian asimilasi tersebut. Mereka juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI untuk turun tangan melakukan investigasi dan pengawasan.

“Asimilasi adalah hak bersyarat, bukan hak istimewa. Bila hukum tunduk pada relasi kekuasaan dan bukan pada keadilan, maka korupsi akan terus subur dan kepercayaan publik akan runtuh,” tutup Adi Warman.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Lapas dan Kanwil Kemenimipas Sulawesi Tenggara belum memberikan klarifikasi resmi atas proses pemberian asimilasi tersebut.-**