sorotistananews.com
Ekonomiopini

Pajak dan Kepercayaan Publik: Dua Pilar Reformasi yang Belum Kokoh

Oleh: Reska Pratama Dewi

Sorotistananews.com, Perpajakan menjadi tulang punggung penerimaan negara Indonesia sekaligus sarana pemerataan kesejahteraan.

Sejak 2001 pemerintah menerapkan sistem self‑assessment agar masyarakat sendiri yang menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. Dua puluh tahun berlalu, efisiensi mekanisme ini tetap diperdebatkan, dan tuntutan reformasi kian kuat.

Realitas Pelaksanaan Self‑Assessment

Direktorat Jenderal Pajak merancang alur terstruktur pendaftaran, penghitungan, pembayaran, pelaporan seraya meluncurkan e‑filing dan e‑billing untuk memangkas antrean. Aplikasi seluler memudahkan transaksi, dan pembayaran elektronik menekan biaya administrasi. Namun rasio kepatuhan belum bergerak signifikan: tax ratio Indonesia berkisar 10 persen, sedangkan rata‑rata negara OECD mencapai 33 persen.

Banyak pelaku UMKM dan pekerja informal masih belum memahami pajak, sehingga mereka enggan mendaftar atau menunda pelaporan, membuka celah penghindaran yang sulit terdeteksi.

Kepercayaan publik pun rapuh. Skandal korupsi dari suap sampai penyelewengan restitusi meninggalkan skeptisisme: apakah setoran benar‑benar kembali dalam wujud jalan, sekolah, atau layanan kesehatan? Di sisi lain, petugas pajak menghadapi rasio pengawasan yang timpang.

Auditor terbatas, sementara populasi wajib pajak terus bertambah. Basis data antarlembaga belum sepenuhnya terhubung; penelusuran aset kerap buntu di perbankan atau perusahaan fintech. Celah ini memicu manipulasi laporan dan transfer pricing lintas batas.

Digitalisasi mempercepat layanan, tetapi sekaligus memunculkan tantangan baru. Kota besar menikmati internet stabil, sedangkan daerah terpencil sering kali bergantung pada jaringan lambat.

Wajib pajak yang belum melek teknologi menilai platform daring justru menyulitkan dan mahal karena memerlukan gawai tertentu. Perbedaan kesiapan ini menegaskan bahwa reformasi tidak cukup mengandalkan aplikasi; infrastruktur dan literasi digital harus ikut diperkuat.

Agenda Reformasi: Membangun Kepatuhan dan Kepercayaan

Pemerintah tak bisa berhenti pada penataan regulasi. Reformasi sejati menuntut aksi serentak di ranah kelembagaan, teknis, dan kultural. Pertama, lembaga pajak harus membuka data, meningkatkan akuntabilitas, dan menegakkan sanksi tanpa pandang bulu. Laporan penerimaan serta belanja negara perlu tersedia dalam format terbuka agar publik dapat menilai nilai guna pajak secara mandiri.

Kedua, otoritas wajib menyederhanakan aturan, meniadakan pasal tumpang‑tindih, dan memperluas layanan tatap muka bergerak misalnya mobil konsultasi pajak keliling desa. Integrasi basis data dengan catatan kependudukan, sektor keuangan, dan platform digital akan mempersempit ruang manipulasi. Langkah ini harus dibarengi peningkatan kapasitas auditor melalui pelatihan forensik data.

Ketiga, negara perlu menanamkan budaya sadar pajak sejak bangku sekolah. Simulasi sederhana dalam kurikulum ekonomi membuat generasi muda melihat pajak sebagai kontribusi, bukan beban. Insentif—seperti prioritas akses kredit usaha, diskon retribusi, atau sertifikat kepatuhan—dapat mendorong pelaporan tepat waktu. Kampanye publik yang secara visual mengaitkan pungutan pajak dengan jalan mulus, beasiswa, dan puskesmas akan memperjelas manfaat langsung bagi masyarakat.

Penegakan hukum juga harus tegas dan transparan. Saat sistem mendeteksi pelanggaran, aparat penegak mesti bergerak cepat.

Putusan pengadilan terbuka dan publikasi aset yang disita dari pengemplang pajak besar memberi efek jera dan menunjukkan bahwa hukum berlaku sama untuk semua.

Pada akhirnya, perpajakan yang efisien bertumpu pada dua pilar: kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik. Tanpa keduanya, inovasi digital serta revisi aturan hanya memperbaiki permukaan.

Reformasi menyeluruh—dari modernisasi teknologi hingga pendidikan pajak akan memperluas basis pemajakan, meningkatkan penerimaan negara, dan mendanai pembangunan yang merata. Tanpa perubahan, beban justru menekan pembayar patuh dan memperlebar jurang ketidakadilan sosial.

Pertanyaannya bukan lagi perlukah kita mereformasi mekanisme pajak, melainkan kapan langkah nyata ditempuh.

Dengan kepemimpinan politik yang konsisten dan pengawasan masyarakat sipil yang aktif, Indonesia dapat memiliki sistem perpajakan yang adil, transparan, dan benar‑benar efektif.-**

 

Related posts

BPK Diminta Audit Anggaran 6 Eks Anggota DPRD Bengkalis Termasuk Ketua DPRD Sekarang

tino sorotistananews

RS Awal Bros Group Sukses Gelar Seminar Nasional Keperawatan di Pekanbaru

tino sorotistananews

Aturan Pajak UMKM : Siapa Yang Kena? Dan Berapa Yang Harus Dibayar?

rdw.

Aset perbankan China catat pertumbuhan stabil

sorotistananews

Puncak HUT ke-26 Tahun RS Awal Bros Group Berlangsung Semarak

tino sorotistananews

China ingin hubungan dengan Indonesia tumbuh secara signifikan

sorotistananews

Bantuan Rehab Rumah Korban Bencana, Bupati Barru Tegaskan Bukan Untuk Pilkada

Pj Ketua TP PKK Triana Sandi Fahlepi, Pimpin Rapat Persiapan Lomba Masak Serba Ikan

Wujud Empati, Suardi Saleh Kunjungi Korban Kebakaran di Lampoko

tino sorotistananews

KPK panggil lima pejabat Pemkot Semarang terkait sidik dugaan korupsi

sorotistananews

DIRLANTAS POLDA RIAU KEMBALI ADAKAN LOMBA BURUNG CUP 2

tino sorotistananews

Parpol Terlibat Dalam Menekan Kapolda Riau Dalam Penangan Kasus SPPD Fiktif DPRD Provinsi Riau

tino sorotistananews

RS Awal Bros Group Terus Berinovasi, Dari Perayaan HUT Ke-26

tino sorotistananews

Komunitas Usahawan yang lagi Hype di Pekanbaru

UITE 2025 Jadi Agenda Tahunan, Skala Lebih Besar dan Inklusif

rdw.

BI perkuat sinergi BI-FAST dan infrastuktur industri fast payment

rdw.

BRI kerja sama Kejati tangani masalah hukum perdata

rdw.

Leave a Comment