Sorotistananews.com, Jakarta- Latar Belakang:
Desa merupakan unit pemerintahan terdepan yang memiliki otonomi asli, diakui dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam praktiknya, banyak permasalahan hukum dan sosial di desa yang belum terselesaikan secara efektif oleh lembaga formal, seperti pengadilan negeri atau kepolisian, karena keterbatasan akses, biaya, serta ketidaksesuaian pendekatan hukum formal dengan nilai-nilai lokal.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang bagi pengakuan kelembagaan adat dan penyelesaian sengketa berbasis musyawarah, namun belum ada sistem yang terstruktur dan diakui sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
Argumentasi Hukum:
1. Dasar Konstitusional:
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal ini menjadi dasar legitimasi pengakuan terhadap hukum dan lembaga adat termasuk penyelesaian sengketa.
2. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa:
Pasal 103 menyebutkan Desa Adat berwenang menjalankan sistem peradilan adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Pasal 26 ayat (4) huruf f: Kepala desa bertugas “menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa” yang membuka ruang penyelesaian secara lokal.
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
Pasal 2 ayat (4) menegaskan bahwa peradilan dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Mahkamah Desa dapat menjadi bentuk konkret dari asas ini untuk masyarakat desa.
4. Asas Rekognisi Hukum Adat dan Mediasi Penal:
Sejalan dengan semangat restorative justice yang kini diarusutamakan dalam pembaruan hukum pidana dan perdata, Mahkamah Desa berperan sebagai forum mediasi dan rekonsiliasi berbasis adat dan musyawarah.
5. Yurisprudensi dan Praktik Baik (Best Practices):
Beberapa daerah telah menerapkan lembaga peradilan adat secara informal, seperti Lembaga Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat dan Lembaga Adat Gayo di Aceh Tengah, yang berhasil menekan angka konflik sosial.
Gagasan Struktur dan Kewenangan Mahkamah Desa:
1. Kedudukan:
Sebagai lembaga semi-yudisial non-formal di bawah kewenangan desa, disahkan melalui peraturan desa (perdes).
2. Fungsi dan Kewenangan:
Menyelesaikan sengketa antar warga desa yang bersifat keperdataan ringan, keluarga, dan adat.
Menjadi forum mediasi, konsiliasi, dan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal.
3. Hubungan dengan Lembaga Yudisial Formal:
Putusan Mahkamah Desa bersifat final untuk perkara yang tidak menimbulkan kerugian negara dan tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Untuk perkara yang tidak selesai, dapat dilanjutkan ke sistem peradilan formal.
Rekomendasi :
1. Pemerintah dan DPR perlu mendorong perubahan atau penyisipan pasal dalam UU Desa atau UU Kekuasaan Kehakiman untuk mengakui Mahkamah Desa sebagai bagian dari sistem alternatif penyelesaian sengketa berbasis masyarakat.
2. Perlu adanya pedoman nasional (dari Mahkamah Agung atau Kemendagri) tentang tata kerja, standar etik, dan relasi antara Mahkamah Desa dan peradilan formal.
3. Sosialisasi dan pelatihan bagi tokoh adat, perangkat desa, dan masyarakat mengenai prinsip hukum, keadilan restoratif, dan penyelesaian sengketa non-litigasi.
Oleh : Dr. H. Adi Warman., SH., MH., MBA. Ahli Hukum – Pengamat Politik dan Keamanan.