Sorotistananews.com, Jakarta- Ketika Mahkamah Agung menerbitkan Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 pada 25 September 2015, semangat awalnya adalah membuka ruang kesetaraan bagi semua organisasi advokat di Indonesia.
Surat ini memperbolehkan pengadilan tinggi menyumpah advokat dari organisasi mana pun, selama memenuhi syarat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Langkah tersebut lahir dari semangat reformasi hukum, merespons Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak konsep organisasi advokat tunggal. Tapi kenyataan sepuluh tahun kemudian menunjukkan bahwa surat ini bukan sekadar kebijakan administratif. Ia menjadi simbol nyata dari gagalnya desain politik hukum dalam pembinaan profesi advokat di Indonesia.
Fragmentasi Tanpa Arah:
Sejak surat itu berlaku, profesi advokat mengalami fragmentasi masif. Organisasi advokat bermunculan di mana-mana. Tanpa standar pendirian, tanpa pengawasan kualitas, dan tanpa akreditasi ketat terhadap proses Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) maupun Ujian Profesi (UPA).
Dalam praktiknya, banyak organisasi cukup menyelenggarakan PKPA daring seadanya, meluluskan peserta dengan tes ringan, lalu memfasilitasi penyumpahan. Maka lahirlah gelombang advokat KTP—mereka yang sah secara formal tapi nihil secara kompetensi dan integritas.
Politik hukum yang membolehkan pluralisme organisasi memang progresif di atas kertas. Tapi ketika tidak diikuti oleh desain kelembagaan dan pengawasan negara yang kuat, fragmentasi berubah menjadi disorientasi profesi.
Etika yang Terserak:
Masalah tak berhenti pada kualitas pendidikan dan rekrutmen. Fragmentasi organisasi melahirkan pula fragmentasi kode etik. Tiap organisasi membuat kode etik dan dewan kehormatannya sendiri. Tak ada koordinasi lintas organisasi. Maka, advokat yang dijatuhi sanksi etik di satu organisasi bisa pindah dan bersih di organisasi lain.
Inilah lubang dalam sistem politik hukum yang dibuat terburu-buru: negara melepas kontrol etika profesi, tetapi tidak membentuk regulator independen yang bisa menjamin integritas lintas organisasi. Akibatnya, masyarakat tak lagi bisa percaya bahwa semua advokat tunduk pada standar moral yang sama.
Rakyat Jadi Korban:
Di tengah kebingungan ini, korban sejatinya adalah rakyat pencari keadilan. Mereka tidak tahu harus percaya pada advokat yang mana. Tak ada mekanisme tunggal untuk mengecek rekam jejak advokat. Tak ada lembaga etik nasional yang bisa menerima pengaduan lintas organisasi.
Ketika klien merasa ditipu atau ditelantarkan, sanksi tak kunjung datang. Organisasi pun sering tak punya keberanian menjatuhkan hukuman serius, karena advokat bisa langsung pindah rumah.
Jalan Pembenahan:
Politik hukum advokat tidak bisa dibiarkan cair tanpa kendali. Negara harus kembali hadir secara serius dan tegas. Ada tiga jalan pembenahan utama:
1. Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang membentuk Badan Regulator Profesi Advokat independen, setara dengan KPPU atau KPAI, untuk mengatur dan mengawasi semua organisasi secara nasional.
2. Penerbitan Peraturan Presiden atau Peraturan MA baru, yang mengatur standar pendirian organisasi, sistem akreditasi lembaga PKPA dan UPA, serta sistem register nasional advokat.
3. Pembentukan Dewan Etik Nasional Profesi Advokat, sebagai pengawas lintas organisasi yang menjaga kepercayaan publik terhadap profesi hukum.
Surat MA Nomor 73 Tahun 2015 bukan sekadar surat administratif, melainkan cermin rusaknya politik hukum advokat di Indonesia. Ia membiarkan liberalisasi tanpa mekanisme kontrol, pluralisme tanpa standar, dan kebebasan tanpa tanggung jawab.
Jika negara tidak segera bertindak, maka profesi advokat akan terus merosot dari officium nobile menjadi profesi pasar bebas. Dan di ujungnya, sistem hukum kita sendiri yang akan tumbang, karena kehilangan salah satu penopang keadilan yang paling penting.
Saatnya negara hadir bukan untuk memonopoli, tetapi untuk menyelamatkan martabat dan masa depan profesi advokat.
Oleh: Dr. H. Adi Warman, SH., MH., MBA. Ahli Hukum – Pengamat Politik dan Keamanan.