Indonesia butuh pemimpin yang rela berkorban, bukan rakyat yang terus dikorbankan.
Sorotistananews.com, Jakarta— Hari Raya Idul Adha kembali hadir sebagai momen suci, ketika umat Islam di seluruh dunia memperingati keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS—dua sosok yang mencatatkan sejarah pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan yang tak tertandingi.
Idul Adha bukan semata seremoni penyembelihan hewan kurban. Ia adalah panggilan jiwa. Sebuah pengingat spiritual bahwa hakikat kehidupan seorang pemimpin dan warga negara adalah tentang keberanian berkorban untuk yang lebih besar: kemaslahatan umat dan kejayaan bangsa.
Kepemimpinan Diuji Seperti Ibrahim
Nabi Ibrahim AS diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Ia diuji bukan soal mampu atau tidak, tapi tentang ketaatan dan pengorbanan tertinggi. Dan pada puncaknya, Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan—sebuah pengesahan bahwa ketaatan sejati akan selalu membawa jalan keluar terbaik.
Di sinilah kita perlu bertanya:
Apakah para pemimpin bangsa kita saat ini juga bersedia “mengorbankan Ismail-nya”?
Apakah mereka sanggup meninggalkan kepentingan pribadi, kelompok, atau kekuasaan, demi sebuah keadilan sosial dan pemerintahan yang bersih?
Sayangnya, realita politik kita masih jauh dari semangat pengorbanan itu. Banyak yang sibuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat untuk berbakti.
Sementara itu, rakyat tetap menghadapi harga kebutuhan pokok yang naik-turun tak terkendali, ketimpangan ekonomi yang mencolok, dan praktik-praktik hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak kepada keadilan substantif, tetapi lebih sering tersandera oleh kepentingan pragmatis dan tekanan elit.
Membangun Bangsa dengan Jiwa Ikhlas
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dibangun di atas fondasi pengorbanan, keikhlasan, dan integritas moral. Kita tidak akan pernah bisa menjadi Indonesia Emas 2045 jika elite politik hanya mengejar kekuasaan tanpa ruh pengabdian.
Idul Adha menantang kita untuk menjawab:
Maukah kita berkurban demi memberantas korupsi?
Maukah kita melepaskan ego demi melindungi generasi muda dari narkoba, judi online, dan dekadensi moral?
Maukah kita menghadapi mafia tambang, mafia peradilan, dan mafia politik meskipun risikonya besar?
Jika jawabannya “tidak”, maka kita belum siap menjadi bangsa besar.
Idul Adha: Momentum Meretas Jalan Perubahan
Sebagai Ketua Umum GN-PK dan Asisten I Penasihat Khusus Presiden RI Bidang Politik dan Keamanan, saya melihat bahwa semangat reformasi birokrasi, penegakan hukum, dan pemulihan moral bangsa harus menjadi prioritas lintas sektor.
Tiga agenda penting yang perlu segera digerakkan dalam semangat Idul Adha ini, yaitu :
1. Restorasi moral kepemimpinan: Menjadikan kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati sebagai fondasi bagi para pejabat publik dan aparatur negara.
2. Penegakan hukum yang berkeadilan: Tidak boleh ada lagi “orang kuat kebal hukum”, sementara rakyat kecil dihukum tanpa ampun. Setiap warga negara setara di hadapan hukum.
3. Revitalisasi semangat gotong royong: Seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang saling mendukung dalam ujian berat, bangsa ini harus membangun sinergi yang kuat antara rakyat dan pemimpinnya.
Dalam gema takbir yang menggema dari Sabang sampai Merauke, mari kita resapi makna terdalam dari Idul Adha:
Bahwa tidak ada kemuliaan tanpa pengorbanan, tidak ada perubahan tanpa keikhlasan, dan tidak ada kejayaan tanpa ketundukan kepada nilai-nilai ilahiyah.
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Semoga Allah SWT menerima segala amal kurban dan niat baik kita semua.
Semoga bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang meneladani Ibrahim: teguh, sabar, dan siap berkorban demi kebaikan umat.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H.
Indonesia butuh pemimpin yang rela berkorban, bukan rakyat yang terus dikorbankan.
