“Janganlah kamu sangka bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)
Sorotistananews.com, JAKARTA.-Serangan militer besar-besaran Israel terhadap Republik Islam Iran pada Jumat, 13 Juni 2025 lalu, kembali mengoyak nurani dunia Islam. Dengan dalih menunda pengembangan nuklir, lebih dari dua ratus jet tempur Israel menghujani bumi Iran dengan ratusan bom presisi. Sasaran mereka bukan hanya fasilitas nuklir di Natanz dan Isfahan, tetapi juga pusat-pusat militer dan bahkan kawasan sipil.
Ratusan nyawa melayang;
Lebih dari 400 syuhada—termasuk ilmuwan, anggota militer, dan masyarakat biasa—menjadi korban dari kebijakan luar negeri yang bertumpu pada kekuatan, bukan keadilan.
Namun yang luput disadari Israel adalah bahwa mereka telah menyentuh wilayah yang bukan sekadar geografis, melainkan ideologis. Iran bukan hanya negara. Ia adalah simbol perlawanan, titik simpul kemarahan dunia Muslim yang telah lama menyaksikan kezaliman di Palestina, Libanon, Suriah, dan Yaman.
Tiran Zalim, Umat Bangkit
Sejarah Islam mengajarkan bahwa kezaliman tidak pernah abadi. Fir’aun yang angkuh tumbang di Laut Merah. Namrud yang pongah hancur oleh nyamuk. Dalam konteks modern, Israel boleh merasa memiliki kekuatan teknologi dan dukungan blok barat. Tapi kekuatan fisik tidak mampu memadamkan semangat keadilan yang hidup dalam hati umat Islam di seluruh dunia.
“Kemenangan itu milik Allah, bukan milik koalisi,” tulis Sayyid Qutb.
Serangan Israel justru membangunkan kesadaran kolektif umat Islam bahwa saatnya persatuan menjadi agenda utama, bukan hanya seruan retoris di forum internasional.
Iran, dengan segala kontroversinya, telah menjadi titik simpul dari jaringan muqawamah—perlawanan yang lahir dari penindasan. Hizbullah di Libanon, Houthi di Yaman, dan simpul-simpul perlawanan lainnya bukan lagi organisasi militer belaka, melainkan gerakan yang tumbuh dari kehausan akan keadilan yang selama ini dilanggar oleh kekuatan dunia yang hanya berpihak kepada yang kuat.
Indonesia dan Mandat Amanah Umat
Indonesia, dengan statusnya sebagai negara Muslim terbesar dan sebagai bangsa yang merdeka karena perjuangan, memikul tanggung jawab moral dan spiritual. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif tidak boleh diterjemahkan sebagai sikap diam dalam menghadapi kezaliman global.
Presiden Prabowo Subianto telah menyuarakan keprihatinan dan menyerukan penghentian kekerasan. Itu langkah awal. Namun dalam catatan saya, lebih dari sekadar diplomasi formal, Indonesia harus menjadi pelopor mediasi damai antar umat. Kita punya pengalaman mendamaikan konflik di Aceh, Mindanao, bahkan Myanmar.

Umat Islam Indonesia harus kembali meneguhkan peran sebagai khairu ummah—umat terbaik yang bukan hanya diam melihat penderitaan, tetapi aktif mendorong solusi, baik dalam bentuk diplomasi, bantuan kemanusiaan, maupun do’a dan edukasi publik.
Politik Kemanusiaan dan Kemenangan Hakiki
Islam tidak pernah mengajarkan permusuhan sebagai jalan utama. Tetapi Islam juga tidak mengajarkan tunduk pada kezaliman. Nabi SAW bersabda:
“Tolonglah saudaramu, baik dia orang yang zalim maupun yang dizalimi.” (HR. Bukhari)
Saat sahabat bertanya, bagaimana menolong orang yang zalim? Rasul menjawab: “Cegahlah ia dari kezaliman, itulah bentuk pertolongan.”
Kita harus tegas: serangan Israel adalah bentuk nyata kezaliman. Dunia harus mencegahnya. Umat Islam harus berdiri di garis keadilan. Saat ini bukan saatnya menyalahkan mazhab, memperdebatkan khilafiyah, atau menyimpan dendam lama. Umat sedang berdarah.
Menutup Luka dengan Do’a dan Aksi
Dalam setiap bom yang meledak, bukan hanya tubuh manusia yang hancur, tetapi harapan generasi Muslim ke depan. Kita tidak sedang menanti siapa yang akan menang secara militer, tetapi siapa yang sanggup menjaga martabat umat dan menyelamatkan masa depan.
Israel salah memilih lawan
Mereka tidak hanya menyerang Iran, tapi membangkitkan kembali kesadaran umat Islam yang selama ini terpecah. Kini saatnya kita menyalurkan kemarahan menjadi energi persatuan.
Dan pada akhirnya, kita yakin:
“Janganlah kamu merasa lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)
