Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bekasi (foto Nurterbit/Sorotistananews.com)
Bekasi, Sorotistananews.com – Kebijakan Pemerintahan Prabowo Subianto menaikkan gaji hakim hingga 280 persen, menjadi perbincangan masyarakat. Apakah ini reformasi nyata atau tantangan baru?
Kebijakan ini langsung mendapat berbagai respons dari masyarakat dan kalangan hukum setelah diumumkan secara resmi. Banyak yang melihatnya sebagai langkah maju untuk memberantas mafia peradilan.
Salah satunya Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bekasi Kombes Polisi (Purn) I Ketut Sudiharsa, SH, MH yang juga mantan penyidik Mabes Polri ini menyatakan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya.
“Ini karena kenaikan gaji hakim tersebut akan berdampak kepada semakin dalamnya jurang kehidupan antara hakim dengan penegak hukum lainnya,” kata I Ketut Sudiharsa, alumni S2 Hukum UII Yogyakarta dan UI Jakarta ini.
Demikian mantan Reserse Bareskrim Polri, pengacara senior DIVKUM Polri, mantan Direktur Hukum PPATK, mantan Pimpinan LPSK priode I dan terakhir Ketua LBH AP Muhammadyah, I Ketut Sudiharsa saat diwawancarai di Bekasi, Minggu 22 Juni 2025.
Menurut I Ketut Sudiharsa, apabila tujuan kenaikan gaji hakim tersebut untuk menghentikan niat hakim untuk korupsi, ini sangat baik tetapi bukan berarti akan menciptakan putusan hakim yang berkeadilan.
“Kecuali keputusan ini dilakukan melalui suatu mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan hasil kajian bahwa penyebab tidak tercapainya keadilan dalam putusan adalah karena masalah penghasilan hakim yang rendah,” kata mantan Reserse Bareskrim Polri ini.
Diungkapkan oleh pengacara senior DIVKUM Polri dan mantan Direktur Hukum PPATK ini, dirinya tidak sependapat jika dikatakan ada hubungan yang signifikan antara kenaikan gaji hakim yang 280 persen tersebut dengan tereliminirnya korupsi dan korupsi.
Akar Masalah Korupsi Adalah Rasa Ketakutan Pejabat Takut Miskin
Menurutnya, akar masalah korupsi adalah rasa ketakutan dan kebijakan pemerintah sampai saat ini tidak bisa menghilangkan rasa ketakutan, khususnya para pejabat atau ASN (Aparat Sipil Negara) yaitu ketakutan akan bagaimana kehidupan ke depannya.
“Pejabat/ASN merasa ketakutan akan kemiskinan setelah berakhirnya jabatan mereka. Oleh karena itu, akar masalah yang harus ditangani adalah sistem perekonomian yang baik yaitu yang mensejahterakan masyarakat sampai hari tuanya yang akan menghentikan ketakutan kemiskinan masa depannya,” kata Ketua LBH AP Muhammadyah Kota Bekasi ini.
Artinya, pemerintah harus mampu membuat masyarakatnya merasa terjamin dalam kehidupannya sampai hari tuanya, sehingga masyarakat hanya focus memikirkan apa yang terbaik untuk kemaslahatan.
“Bagi saya, kenaikan gaji hakim lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, karena kenaikan gaji hakim tersebut akan berdampak kepada semakin dalamnya jurang kehidupan antara hakim dengan penegak hukum lainnya,” kata I Ketut Sudiharsa.
Disebutkan misalnya dalamnya jurang kehidupan antara hakim dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun penyidik serta ASN lainnya, bahkan dengan masyarakat secara umum, kecuali keputusan itu sudah melalui kajian dan penelitian yang panjang dan mendalam.
“Terlebih lagi diketahui bersama mengetahui hakim di Indonesia itu terlahir dari sarjana baru, bukan direkrut dari pengacara atau jaksa senior denga kualitas tertentu,” kata alumni S2 Universitas Indonesia Jakarta ini.
Karena itu menurutnya, pemerintah harusnya membuat sistem penggajian yang berkeadilan bagi seluruh pegawai/pejabat negara dengan memegang teguh prinsip minimal penghasilan yang mensejahterakan.
Artinya perbedaan signifikan terhadap pejabat bidang-bidang tertentu seperti keuangan, penegak hukum, pertahanan keamanan serta kesehatan tidak akan mempengaruhi ASN di bidang lainnya. Disamping itu, negara juga harus membuat kebijakan standarisasi penggajian dibidang swasta.
Dijelaskan juga bahwa dengan kenaikan gaji hakim dan ancaman pecat yang melanggar itu berdampak penjeraan kepada hakim-hakim, sebenarnya tidak ada hubungan antara hukuman berat dengan penjeraan.
Menurut teori Colins, ungkap I Ketut Sudiharsa, ada tiga syarat untuk tercapainya dampak penjeraan yaitu: Pertama, aturan harus diketahui masyarakat. Kedua, pimpinan penegak hukum wajib mensosialisasikan aturan kepada penyidik secara rutin. Ketiga, penerapan aturan harus tidak pilih bulu.(*)